Tag Archives: infak

Berinfak di jalan Allah

Banyak sekali dalil yang membicarakan tentang infak. Biasanya, infak diakitkan dengan perjuangan untuk menolong agama Allah. Karena, memang harga dari perjuangan itu mahal sekali. Waktu, tenaga, harta bahkan jiwa adalah mahar untuk mendapatkan bidadari yang sudah dijanjikan Allah di surga-Nya. Maka, seharusnya infak itu diniatkan untuk mendapatkan ridha Allah, sehingga imbasnya adalah akan dipermudahkan rezekinya dalam Automatic system yang akan kita dapatkan.
“Katakanlah: ‘Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi (siapa yang dikehendaki-Nya)’. Dan sesuatu apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.” (QS Saba’: 39)

Harta yang dinafkahkan di jalan Allah tidak akan mengurangi sedikitpun dari apa yang kita miliki, bahkan infak tersebut akan semakin menyuburkan harta kita. Allah akan menggantikannya dengan yang lebih baik berupa rahmat-Nya.

Infak, sedekah atau zakat menjembatani antara orang kaya dan orang miskin. Di negeri kita yang merupakan negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, masih sering kita dengar suara tangisan bayi yang terkena busung lapar, bukan karena tidak ada orang kaya (bahkan mungkin banyak!) tetapi mungkin lebih dikarenakan kita kurang peka terhadap kondisi mereka atau kita enggan untuk berinfak. Kita takut jatuh miskin dengan infak atau sedekah yang kita keluarkan!

“Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir), sedangkan Allah menjadikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi maha Mengetahui.” (QS Al Baqarah: 268)

Ibnu Abbas menafsirkan ayat ini dengan, ” Dua hal dari Allah dan dua hal dari setan, yaitu: pertama, setan menjajikan (manakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dengan berkata: ‘jangan kamu infakkan hartamu, peganglah untukmu sendiri karena kamu juga membutuhkannya’. Kedua, ‘menyuruh kamu berbuat  kejahatan (kikir)’. Sedangkan  dua hal dari Allah, yaitu: pertama, Allah menjadikan untukmuampunan daripada-Nya. Yakni atas segala kemaksiatan yang kita lakukan. Kedua, karunia berupa rezeki”

Abu Hurairah r.a mengatakan, Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan kepadaku:

“Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman: ‘Wahai anak Adam, berinfaklah niscaya Aku berinfak (memberi rezeki) kepadamu.” (HR Muslim)

Dalam hadist lain juga disebutkan bahwa malaikat akan turun mendoakan orang yang berinfak. diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Nabi bersabda,

“Tidaklah para hamba berada di pagi hari kecuali di dalamnya terdapat malaikat yang turun, salah satunya berdoa: ‘Ya Allah, berikanlah kepada orang yang berinfak ganti (dari apa yang ia infakkan)’. Sedang yang lain berkata: ‘Ya Allah, berikanlah kepada orang yang menahan hartanya kebinasaan hartanya.” (HR Bukhari).

Rasulullah juga menyuruh para sahabatnya untuk berinfak,

“Berinfaklah wahai Bilal, jangan takut dipersedikit (hartamu) oleh Dzat Yang Memiliki Arsy”. (HR Al Baihaqi)

Abu Bakar menginfakkan seluruh hartanya ketika ada panggilan infak untuk berjihad. Dengan berinfak itu dia tidak jatuh miskin, bakan masuk dalam daftar para sahabat yang kaya dan dijamin surga. Begitu pula dengan Umar bin Khattab yang menginfakkan setengah dari kekayaannya.

Dalam berinfak, dibutuhkan ke-Tsiqah-an (percaya) bahwa Allah akan mengganti apa yang dikeluarkan, seperti apa yang terjadi di kota Madinah, ketika itu masyarakat mengalami paceklik dan kelaparan hebat serta barang-barang menjadi sangat mahal.

Datanglah kafilah dagang dari perniagaan milik Utsman bin Affan yang mengangkut barang dagangannya dengan puluhan bahkan ratusan Unta (mungkin sekarang sebanding dengan kontainer.red). Belum sampai Madinah, kafilah itu dicegat oleh para pedagang, lalu terjadilah tawar menawar.

Utsman bin Affan menawarkan setiap barang yang bernilai 1 dirham menjadi 5 dirham, ada yang menawar. Kemudian Utsman menawarkan lagi, “Siapa yang berani menjadi sepuluh kali lipat?” Tidak ada yang berani membelinya. Lalu dia mengatakan, “Ada! Ada yang akan membelinya seharga seharga sepuluh kali lipat, bahkan seratus kali lipat, yaitu Allah. Semua barang dagangan ini saya infakkan semuanya dijalan Allah untuk masyarakat madinah”.

Beliau pun tidak menjadi miskin setelah itu, bahkan beliau merupakan sahabat yang menikahi  dua putri Rasulullah serta masuk dalam daftar para sahabat yang milliarder dan dijamin surga.

*Sumber: Keajaiban Shalat Dhuha, Muhammad Abu Ayyas, Qultum Media, cet v, Jakarta 2008.

Penulis tertarik mengangkat tema tentang infak setelah pada Jumat kemarin (April 2nd, 2008) mendengarkan Khotbah Jumat di masjid Baitul Ihsan, Bank Indonesia tentang negara-negara muslim yang ditdak masuk dalam daftar 25 negara termakmur berdasarkan Human Development Index.

Padahal seperti kita ketahui, saat ini dunia sedang dilanda Krisis Global! Krisis yang (katanya) menandakan runtuhnya Ekonomi Kapitalis. Dan para Ekonom sendiri sudah mengatakan bahwa sistem ekonomi yang terbaik adalah Ekonomi Syariah, tapi amat disayangkan bahwa negara-negara yang mayoritas muslim sendiri seperti Indonesia ternyata tidak bisa menerapkan sistem Ekonomi Syariah!

Di Indonesia masih terdapat kesenjangan yang terlalu dalam antara si kaya dan si miskin, hal yang seharusnya tidak pernah terjadi pada Ekonomi Syariah. Karena Rasulullah selalu mengajarkan untuk menginfakkan harta kita di jalan Allah, agar kita bisa berbagi dengan sesama mahluk Allah.

Semoga tulisan ala kadarnya ini bisa menjadi renungan kita bersama…

Infak

Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang khamar dan judi. Katakanlah, “Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. Tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya”. Dan mereka menanyakan kepadamu (tentang) apa yang (harus) mereka infakkan. Katakanlah, “Kelebihan (dari apa yang diperlukan)”. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepadamu agar kamu memikirkan.

(al-Baqarah: 219)

Penjelasan: Infak untuk keperluan sosial hendaklah disesuaikan dengan kemampuan setelah diketahui batas keperluan untuk kebutuhan pribadi dan keluarga.